Jakarta: Lewat desahan, cekok dan goyangan 'maut', penyanyi dangdut meraup rupiah untuk bertahan hidup. Salah atau tidak bukan urusan, mereka melakukan hal tersebut karena memang itulah yang dijual dari profesi seorang penyanyi dangdut.
Bakat ini kerap kali disalahartikan sebagai pemantik pelecehan seksual terhadap penyanyi dangdut. Unsur seksisme bahkan lekat dengan profesi ini. Seksisme merupakan penghakiman, prasangka, stereotip hingga perilaku negatif terkait seksualitas.
Padahal, musik dangdut adalah bagian dari identitas budaya Indonesia. Musik ini identik dengan pukulan musik tabla atau gendang, yang memang dipengaruhi musik India klasik dan Bollywood. Jenis musik ini kemudian makin populer ketika Raja Dangdut Rhoma Irama mulai tenar di tahun 1968.Terkait profesi ini, biduan dangdut dengan segala bentuk atraksi di atas panggung merupakan aksi hiburan. Sulit untuk bisa dikatakan sebagai pelecehan, kecuali biduan merasa dilecehkan.
"Itu profesi menurut kami. Siapapun dia yang namanya pekerja dan itu profesi enggak seharusnya menerima label negatif dari siapapun. Dia manusia yang harus dihargai. Pekerja ini sebagai profesi. Ketika dia melapor mempunyai hak juga sebagai warga negara," terang Uli Pangaribuan selaku Koordinator Pelayanan Hukum dari Lembaga Badan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta kepada Medcom.id dalam wawancara khusus, Jumat, 8 Juni 2018.
"Penyanyi dangdut mempunyai hak yang sama sebagai warga negara dan kita harus memperlakukannya sama, enggak ada perbedaan dengan penyanyi pop atau rock atau penyanyi lain, yang dianggap lebih baik dari penyanyi dangdut karena diangap goyangannya seksi, desahan ketika menyanyi. Yang timbul, akhirnya masyarakat menganggap penyanyi dangdut (itu) receh. Ini jelas bukan bentuk dari seksisme," kata Uli.
Dewi Perssik. (Foto: Instagram Dewi Perssik)
"Sekarang bagaimana orang menilai. Kalau dari pikirannya saja sudah jorok, berarti dia melihat apapun itu pasti jorok. Padahal kita melihatnya biasa aja itu seni. Tidak ada kaitannya dengan seksisme, tapi kalau dari awal dia melihatnya sudah negatif ya akan negatif. Jadi menurut kami enggak masalah, itu hak dia, itu nilai jual dia. Orang dia makan dengan cara begitu. Selama kita tidak memandang itu sebagai negatif atau seksisme, (pemikiran) itu tidak akan lahir, bentuk-bentuk pelecehan tadi," sambung Uli.
Aktivis perempuan Tunggal Prawestri juga mengungkapkan hal yang sama. Panggung musik dangdut murni menjadi panggung hiburan. Penyanyi dangdut tetaplah profesi yang setara dengan penyanyi lain. Ketika atraksi itu ditampilkan di atas panggung sudah menjadi profesi mereka, tapi respons dari penonton yang terkadang berlebihan.
"Panggung ya panggung. Ada yang dijual dan kita tahu ada objektifikasi seksual di sana. Enggak bisa tutup mata, ada nuansa erotis di sana dan bagian dari pertunjukan. Belly dance juga erotis, tapi apakah lantas penarinya boleh dilecehkan begitu saja? Tidak. Pertunjukan adalah pertunjukan. Suit-suitan dan sorak sorai kegirangan penonton sah pada saat pertunjukan, itu tidak bisa dianggap pelecehan karena merespons sebuah pertunjukan. Tapi kalau sudah di luar panggung ya sudah beda," kata Tunggal menanggapi keterkaitan seksisme dan atraksi penyanyi dangdut.
Bukan soal Pakaian
Via Vallen. (Foto: Instagram Via Vallen)
Yang pasti menurut Uli, pemantik kasus pelecehan ada pada perilaku predator seksual, bukan dari cara berpakaian korban.
"Jangankan penyanyi dangdut yang terkenal, penyanyi dangdut yang di jalan saja mereka dibayar disewa, sebenarnya yang menjadi pelakunya itu siapa? Ya orang yang memiliki organ tunggalnya, yang menyuruh dia untuk bergoyang seperti itu. Untuk dandanan seperti itu, kalau enggak otomatis event organizer enggak laku dan penyanyi dangdut juga enggak laku. Dia enggak akan dipakai lagi karena tidak mengikuti kemauan masyarakat, permintaan masyarakat," kata Uli.
Uli melanjutkan, memang tidak banyak penyanyi atau profesi seniman panggung yang melapor ke LBH APIK dan memilih langsung menyerahkan kasus kepada pengacara. Tapi banyak pelaporan kasus pelecehan yang dilakukan kepada perempuan yang bahkan sudah berpakaian rapi dan tertutup, termasuk mereka yang bahkan mengenakan hijab.
"Pekerjaan mereka (penyanyi dangdut) seperti itu. Kita memandang dia bekerja profesinya harus dihormati, pikirkan dengan pakaiannya? Orang yang berjilbab saja diperlakukan tidak senonoh. Kemudian ada anak-anak kecil bisa diperkosa. Itu cara berpikir," kata Uli.
Koordinator Pelayanan bidang Hukum LBH APIK Jakarta. (Foto: Medcom.id/Cecylia Rura)
Sejak dulu, dalam kasus pelecehan seksual korban kerap kali dituduh sebagai pemancing calon pelaku untuk bertindak beringas. Sebenarnya, perilaku itu sendiri dimulai dari pola pikir masyarakat. Bagaimana seharusnya mengajarkan anak-anak untuk tidak memperkosa dan menghargai perempuan, bukan dengan menyalahkan perempuan dengan pakaian yang dikenakan.
"Sekarang orang mengajari bagaimana perempuan harus berpakaian rapi sopan, tapi kita enggak mengajarkan anak-anak untuk tidak melakukan perkosaan terhadap perempuan dan menghargai perempuan. Cuma mengajarkan perempuan (berpakaian rapi), kenapa harus perempuan? Kami selama menangani kasus banyak perempuan mengalami pelecehan seksual. Berarti analisa kita itu enggak ada kaitannya dengan pakaian. Kejahatan seksual tidak ada kaitannya dengan pakaian. Jadi, bohong kalau dibilang terkait pakaian."
"Kami punya data, banyak korban yang memang berpakaian rapi tertutup, banyak yang mengalami, bahkan anak-anak yang tidak tahu apa sih menariknya jadi sangat mengerikan," jelasnya.
(ELG)
http://hiburan.metrotvnews.com/musik/wkBQ2J0b-seksisme-dan-biduan-dangdutBagikan Berita Ini
0 Response to "Seksisme dan Biduan Dangdut"
Post a Comment